Tuesday, September 11, 2012

Pendidikan Bukan Komoditas Bisnis

Pendidikan Gratis Yang Manusiawi
             Mantan Presiden Afrika selatan, Nelson Mandela, mengatakan bahwa, pendidikan adalah senjata yang paling ampuh untuk menguasai dunia. Tentu saja, hal itu diungkapkan oleh orang yang membebaskan Afrika Selatan dari politik apartheid  itu karena mengingat betapa begitu pentingnya peran pendidikan bagi kehidupan manusia. Pendidikan bisa membawa manusia yang tadinya berada di ruang gelap gulita ke ruang yang terang benderang. Dengan pendidikan, manusia bisa terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan, dan keterpenjaraan pemikiran. Karena pendidikan, jiwa manusia akan tumbuh dan membuat jiwa itu merdeka.
                Pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia. Dalam bukunya, Pendidikan Yang Memiskinkan (2004, Galang Press), Darmaningtyas menuliskan, "Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik". Dari kedua filosofi pendidikan yang dituliskan di atas, sudah cukup jelas bahwa pendidikan adalah salahsatu kebutuhan primer dalam hampir semua sendi kehidupan manusia.
              Mengingat pentingnya peran pendidikan bagi kelangsungan hidup manusia, sewajarnyalah jika pendidikan menjadi hajat hidup orang banyak. Dengan begitu, perlu adanya upaya perbaikan sistem pendidikan yang ada sekarang dan internalisasi kesadaran bahwa pendidikan bukanlah komoditas bisnis.
                Pendidikan, selayaknya udara, mestinya bisa dinikmati oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja tanpa harus membayar. Artinya, pendidikan seharusnya gratis tanpa terjebak dalam jurang dikotomi antara kaya dan miskin. Stigma pendidikan gratis (hanya) bagi orang miskin (tidak mampu) sudah harus dihilangkan. Oleh karena, pendidikan gratis tidak hanya milik dan diperuntukkan bagi orang miskin saja. Pendidikan gratis adalah untuk semua orang.
                 Tidak bisa dimungkiri, pemahaman bahwa pendidikan gratis hanya diperuntukkan bagi orang miskin malah cenderung tidak manusiawi dan diskriminatif. Sekolah-sekolah terbuka yang menyelenggarakan pendidikan gratis bagi orang miskin terkesan hanya sebuah pembenaran dari pemerintah, sehingga seolah-olah pemerintah peduli terhadap nasib Si miskin. Padahal, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis hanya menjadi ajang perkumpulan para pelajar yang tidak belajar.
                Di sekolah-sekolah terbuka, para pelajar tidak mendapatkan pelajaran layaknya para pelajar di sekolah-sekolah berbayar. Minimnya fasilitas pembelajaran yang didapat para pelajar di sekolah-sekolah terbuka—seperti tenaga pengajar dan fasilitas pendukung kegiatan belajar lainnya— membuat para pelajar di sekolah-sekolah terbuka hanya menghabiskan waktu dengan mengobrol dan bersantai di ruang kelas. Para pengajar yang seharusnya memiliki dedikasi untuk memberikan pelajaran kepada para pelajar—meskipun di sekolah terbuka—cenderung tidak serius dalam menjalankan tugasnya. Mungkin para pengajar merasa enggan dan malas karena mengajar di sekolah terbuka tidak mendapat bayaran dari para pelajar.
                Pendidikan gratis yang diselenggarakan di sekolah-sekolah terbuka pada hakikatnya hanya mewajibkan para pelajar untuk bersekolah. Para pelajar tidak diwajibkan untuk belajar. Hal ini berakibat pada merosotnya semangat belajar dari para pelajar yang bersekolah di sekolah-sekolah terbuka. Selain itu, adanya sekolah-sekolah terbuka (gratis) membuat mental dan jiwa kreativitas para pelajarnya menjadi tumpul dan cenderung pemalu. Hal ini, salahsatunya disebabkan oleh penyematan gelar “pelajar miskin” yang kerap diterima oleh para pelajar di sekolah-sekolah terbuka.
                Untuk itu, pendidikan gratis yang hanya bagi orang miskin dengan produknya, yaitu sekolah terbuka, harus segera dihilangkan karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan—yang sejatinya adalah upaya untuk memanusiakan manusia. Pendidikan gratis bagi semua orang (dari segenap strata sosial) adalah solusi untuk menghindari terciptanya pelajar-pelajar yang berjiwa terjajah, bermental pengecut, dan ber-IQ jongkok. Tentunya, sekadar menggratiskan pendidikan bukanlah solusi yang tepat, melainkan harus juga dibarengi dengan penerapan sistem pendidikan yang tidak pilih kasih. Dengan begitu, pelajar yang berasal dari keluarga kaya dan pelajar yang berasal dari keluarga miskin dapat berada di satu ruang kelas dan duduk di satu meja tanpa perasaan superior atau inferior.
                Pendidikan gratis mutlak milik semua orang. Dalam pendidikan tidak ada kaya dan tidak ada miskin. Apalagi jika sampai mengatakan, pendidikan gratis bagi semua orang tidak adil bagi orang miskin, karena orang (pelajar) dari golongan keluarga kaya pun dapat menikmatinya tanpa harus membayar. Kalau untuk urusan subsidi BBM atau pembagian beras miskin (raskin), mungkin bisa saja dikatakan tidak adil jika diberikan kepada semua orang. Namun, jika itu menyangkut masalah pendidikan, gratis itu mutlak dan harus bisa dinikmati oleh semua orang. Karena pendidikan bukanlah komoditas yang boleh diperjual-belikan.
                Seperti ungkapan yang dinyatakan di atas bahwa pendidikan selayaknya udara, bisa dinikmati oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja tanpa harus membayar. Ungkapan ini jelas bermakna bahwa pendidikan sudah seharusnya bisa dinikmati oleh siap saja, kapan saja, dan di mana saja—juga tanpa harus membayar. Kata “gratis” yang kerap disematkan kepada orang msikin—jika itu adalah pendidikan—sudah saatnya dihilangkan. Karena, dengan mengindentikkan kata “gratis”—khususnya dalam hal pendidikan—dengan orang miskin, justeru hanya akan semakin memarjinalkan orang miskin.
                Salahsatu manfaat dari diselenggarakannya pendidikan gratis bagi semua orang adalah terciptanya iklim kehidupan yang sehat antara orang kaya dan orang miskin serta terciptanya persamaan kualitas pendidikan yang didapat, baik yang didapat oleh orang kaya maupun orang miskin. Dengan begitu—paling tidak—di satu bidang dalam kehidupan ini—yaitu pendidikan—tidak ada kesenjangan sosial antara orang kaya dan orang miskin.

strong>Sekolah:  Ajang Transaksi Bisnis
                Beragam upaya dari para aktivis dan orang-orang yang peduli dengan pendidikan yang menyuarakan pendidikan gratis dan manusiawi, ternyata belum mampu menggungah para penyelenggara pendidikan di negeri ini. Ironisnya, harapan yang entah kapan akan terwujud itu, malah sangat sulit ditemukan di sekolah-sekolah yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam upaya untuk memanusiakan manusia. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk mengenyam pendidikan—sehingga manusia bisa terbebas dari belenggu kebodohan—malah menjadi monster seram yang selalu menghantui dan mengganggu tidur masyarakat. Sekolah sebagai salah satu tempat transfer ilmu malah menjadi sangat sulit diakses oleh orang miskin.
                Melihat realitas di atas, tidak mengherankan bila sekolah-sekolah kini menjadi lahan bisnis yang amat menjanjikan. Bisnis pendidikan menjadi bisnis yang menggiurkan karena memiliki pangsa pasar yang jelas sehingga akan dengan mudah meraup keuntungan. Kecermatan dalam membidik peluang usaha pendidikan dapat terlihat dari berlomba-lombanya orang—terutama yang memiliki modal—untuk membangun gedung sekolah. Tujuannya bukan untuk mencerdaskan masyarakat, tetapi meraup keuntungan dari bisnis yang biadab ini.
                Belum lagi jika melihat sistem pendidikan di sekolah-sekolah di republik ini, masih sangat jauh dari harapan sebagai tempat yang diharapkan dapat membuat orang menjadi cerdas. Karena sekolah-sekolah—khususnya sekolah formal berbayar—masih menggunakan sistem pendidikan yang bersandar pada budaya industri (Atma Balaraja, “Upaya Pendidikan Gratis dan Merakyat”). Sistem pendidikan yang sengaja dibentuk mengikuti ritme dunia industri itu pada akhirnya hanya mencetak lulusan yang bermental budak, terjajah, dan amat tergantung pada dunia industri.
                Sisi kelam dunia pendidikan di republik ini dapat dilihat mulai dari adanya uang pangkal, uang daftar ulang, uang seragam, uang OSIS, sampai uang parkir bagi pelajar yang membawa kendaraan. Di tingkat sekolah dasar, masih saja ada pungutan-pungutan liar yang—untuk mengelabui masyarakat—dirubah istilahnya menjadi sumbangan. Sumbangan itu terdiri dari sumbangan buku paket, sumbangan perpisahan, dan sumbangan “aneh” lainnya yang harusnya bersifat sukarela (bukankah namanya memang sumbangan?), pada prakteknya wajib dipenuhi oleh semua pelajar.
                Kebiadaban sistem pendidikan yang dijadikan lahan bisnis lebih memiriskan lagi ketika ujian akan berlangsung. Pelajar yang tidak atau belum bisa melunasi biaya administrasi dilarang untuk mengikuti ujian. Selain sangat tidak manusiawi dan diskriminatif, dilarangnya pelajar yang belum selesai biaya adminitrasinya untuk mengikuti ujian itu akan berdampak buruk terhadap mental Si Pelajar. Si Pelajar menjadi malu, merasa kecewa, dan—bukan tidak mungkin—akan berpengaruh terhadap semangat belajarnya. Akan tetapi, pihak sekolah menjustifikasi perlakuannya kepada pelajar-pelajar yang belum selesai biaya administrasi dengan mengatakan, bila para pelajar itu diizinkan untuk mengikuti ujian, maka pihak sekolah khawatir akan terjadi kecemburuan sosial dari pelajar yang sudah melunasi biaya administrasi. Selain itu, pihak sekolah juga khawatir, jika para pelajar yang belum membereskan biaya administrasinya diperbolehkan mengikuti ujian, para pelajar itu (dalam hal ini wali murid)— karena merasa sudah ikut ujian—tidak kunjung membayar biaya adminitrasi. Suatu sikap dan pernyataan yang aneh yang seharusnya tidak dilakukan oleh penyelenggara pendidikan di negeri ini.
                Kemirisan berlanjut tatkala memasuki tahun ajaran baru. Para pelajar baru yang belum bisa melunasi uang pangkal (uang gedung) tidak akan mendapati namanya di daftar pengunguman pembagian kelas. Sederhananya, para pelajar yang belum bisa melunasi uang pangkal tidak mendapatkan kejelasan di kelas mana ia ditempatkan. Sedangkan pelajar yang sudah melunasi uang pangkal akan dengan mudah mendapati namanya di daftar pengunguman pembagian kelas. Alhasil, pelajar yang belum bisa melunasi uang pangkal hanya akan ditempatkan di satu ruang kelas yang khusus “menampung” para pelajar yang belum bisa melunasi uang pangkal. Ironisnya, meski berada dalam satu ruang kelas, para pelajar yang belum bisa melunasi uang pangkal tersebut sebenarnya berada di ruang kelas fiktif—karena ruang kelas yang menjadi tempat para pelajar itu hanyalah penampungan. Jika mereka tidak kunjung melunasi uang pangkal dalam waktu yang sudah ditentukan oleh pihak sekolah, maka para pelajar itu akan ditolak dari sekolah tersebut.
                Kejadian serupa terjadi pada para pelajar yang naik ke kelas selanjutnya. Bedanya, di sini bukan masalah uang pangkal, melainkan masalah uang daftar ulang. Pelajar yang belum bisa melunasi uang daftar ulang akan mengalami nasib serupa dengan juniornya, yaitu tidak mendapatkan ruang kelas. Dan jika tidak bisa melunasi uang daftar ulang dalam waktu yang ditentukan pihak sekolah, maka para pelajar itu akan di-skor atau dibiarkan begitu saja meskipun kegiatan belajar mengajar sudah berlangsung. Hal ini dilakukan oleh pihak sekolah dengan tujuan agar Si pelajar merasa malu dan tentunya akan merengek kepada orangtuanya agar segera melunasi segala beban biaya pendidikan. Hal ini, tentu saja, mencederai nilai-nilai luhur pendidikan.
                Sekolah yang hanya dijadikan lahan bisnis dengan proyek bisnis pendidikan hanya menjadikan sekolah sebagai bentuk lain dari penjara (Atma Balaraja, “Sekolah Samadengan Penjara”). Sekolah dengan sistem pendidikan yang sengaja diciptakan untuk memasok tenagakerja bagi dunia industri  hanya memenjarakan jiwa, daya kreativitas, dan daya intelektualitas pelajar. Jiwa pelajar terpenjara karena dipaksa oleh sekolah untuk menjadi manusia yang penurut, tidak banyak protes, dan digiring untuk tunduk kepada serangkaian aturan yang hampir sama dengan aturan di dalam penjara.
                Kreativitasnya terpenjara karena sekolah tidak bisa menjadi fasilitator untuk pelajar agar pelajar termotivasi untuk berkarya dan berinovasi serta tumbuh menjadi dirinya sendiri. Sekolah malah mengekang daya kreativitas pelajar dengan serangkaian kurikulum standar yang hanya mengajari pelajar untuk membaca, menulis, dan berhitung, serta sedikit pelajaran yang lain. Sekolah tidak mengajari pelajarnya dengan pelajaran kesenian yang cukup. Padahal dalam pelajaran kesenian terkandung nuansa-nuansa yang merangsang pelajar untuk menjadi kreatif.
                Daya intelektualitasnya terpenjara karena sekolah membekali para pelajar dengan pelajaran alakadarnya, seperti membaca, menulis, dan berhitung. Sedikit sekali pelajaran kewirausahaan—itu pun dengan pengajar yang bukan seorang wirausaha, melainkan seorang pengajar yang menerima gaji atau, dengan kata lain, seorang buruh. Sekolah juga tidak mengajari pelajarnya untuk berani mandiri. Sekolah malah menggiring pelajarnya agar siap-pakai di dunia kerja (industri) jika lulus nanti. Sekolah hanya memberikan pelajaran standar. Yang penting, pelajar bisa mendapat tempat di dunia kerja (itu pun jika Si pelajar beruntung).
                Sekolah sama atau hampir sama dengan penjara. Dalam penjara, jika seorang tahanan tidak memberikan upeti berupa uang kepada sipir dan tahanan yang lain, maka bisa dipastikan tahanan tersebut akan menjadi sansak hidup tempat berlatih tinju bagi sipir dan tahanan yang lain. Karena tidak memberikan upeti, maka ketika tahanan tersebut jadi bulan-bulanan tahanan yang lain, para petugas sipir tidak akan menolongnya, malah akan memberikan semangat kepada tahanan yang sedang “berlatih tinju” agar semakin keras memukul. Dengan begitu, tahanan yang menjadi bulan-bulanan atau keluarganya akan berusaha maksimal untuk mencari uang yang akan dijadikan persembahan kepada sipir.
                Di sekolah, jika pelajar belum melunasi segala biaya yang harus dilunasi, maka pelajar itu tidak akan diperbolehkan mengikuti kegiatan belajar, bahkan kelas pun tidak mendapatkan. Parahnya lagi, ketika pelajar yang berasal dari kalangan tidak mampu menjadi bahan cemoohan pelajar yang lain yang berasal dari kalangan mampu, pihak sekolah akan membiarkan itu terjadi karena pihak sekolah lebih berkepentingan terhadap lunasnya biaya administrasi ketimbang bersimpati kepada perasaan Si Pelajar.
Sikap sekolah dan pelajar yang berasal dari kalangan mampu yang arogan disebabkan oleh sistem pendidikan yang tidak didasari oleh prinsip-prinsip pendidikan yang sebenarnya. Sistem pendidikan yang hanya berorientasi kepada uang (money oriented) hanya menciptakan sikap-sikap yang arogan dan tidak menghargai rasa kemanusiaan. Jika saja sistem pendidikan didasari oleh nilai-nilai luhur dari pendidikan itu sendiri, niscaya akan tercipta sikap yang penuh toleransi, solider, dan menghargai rasa kemanuisaan. Karena dalam sistem pendidikan yang sebenarnya, terkandung ajaran moral yang agung, sehingga pengajar dan pelajar akan memiliki sikap filantrof yang santun.
                Akan tetapi, karena sistem pendidikan yang masih diselimuti kabut kapitalisme dan berbagai kepentingan politis lain, maka tidak heran jika kualitas pendidikan menjadi sangat memrihatinkan. Sistem pendidikan yang di dalamnya ada berbagai macam kepentingan bisnis hanya bertujuan menghasilkan keuntungan semata, tidak memikirkan tujuan yang seharusnya menjadi tujuan sejati dari pendidikan. Contohnya bisa dilihat dari sikap dan tingkahlaku para pengajar yang lebih mementingkan honor tanpa melakukan evaluasi serta peningkatan kinerjanya sebagai pengajar. Sementara dari para pelajar sendiri, contoh tingkahlakunya bisa dilihat dari aksi mereka yang gemar tawuran.

strong>Seharusnya Guru, Bukan Pengajar
                Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Ajar Dewantara adalah Bapak pendidikan di negeri ini. Melalui pemikiran-pemikirannya, banyak tokoh-tokoh seangkatannya menjadi tergugah untuk turut berpikir dan berjuang membebaskan Negeri ini dari penjajah. Salahsatu tulisannya yang menjadi tonggak pergerakkan adalah “Als Ik eens Nederlander Was” (“Seandainya Saya Orang Belanda”). Tulisan yang dimuat di Harian De Express milik Dr. Douwwes Dekker itu menunjukkan keberaniannya menentang rencana penarikkan sumbangan Pemerintah Kolonial Belanda dari masyarakat Hindia-Belanda untuk perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penjajahan Spanyol.
                Karena tulisannya itu, Ki Ajar Dewantara harus menerima hukuman dari pemerintah Kolonial Belanda—melalui Gubernur Jendral A.F.W. Idenburg (masa jabatan 1909—1916) dengan hukumaninternering atau hukuman tahanan kota tanpa proses pengadilan. Ki Ajar Dewantara pun dibuang ke Pulau Bangka.
Ki Ajar Dewantara yang lahir pada tanggal 2 Mei 1889 memiliki dedikasi yang luar biasa dalam upaya menyebarkan minat belajar kepada masyarakat Hindia-Belanda alias Indonesia. Tujuannya, dengan merasuknya pendidikan ke dalam jiwa masyarakat, maka dengan sendirinya masyarakat Hindia-Belanda akan tergugah dan berpikir untuk memerdekakan diri. Maka, atas jasanya, tanggal kelahiran Ki Ajar Dewantara, yaitu tanggal 2 Mei, dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
               Semboyan Ing ngarsa sung tulada (di depan menjadi teladan), Ing madya mangun karsa (di tengah membangun semangat), dan tut wuri handayani (di belakang memperbaiki) menjadi semboyan sakral dalam dunia pendidikan di Nusantara. Akan tetapi, benarkah ajaran yang terkandung dalam ketiga semboyan di atas dimiliki oleh para penyelenggara pendidikan di Negeri ini? Jika mau berkata jujur, tentu saja, jawabannya belum.
              Salah satu unsur yang berada di garis depan dalam dunia pendidikan adalah guru. Kata “guru”, secara etimologis berasal dari bahasa Sanskerta, kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia yang seharusnya bermakna “seorang yang ahli dalam bidang tertentu yang dianggap mulia”, bukan sekadar perantara pengetahuan atau “orang yang pekerjaannya mengajar”. Akan tetapi, makna guru kini telah bergeser—atau sengaja digeser—menjadi sebuah profesi, seperti yang didefinisikan di dalamKamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2002). Seharusnya, makna guru lebih merujuk kepada sebuah pengabdian, bukan sebuah profesi.
              Di sekolah-sekolah saat ini, sebenarnya sudah tidak ada lagi guru,  yang ada hanyalah pengajar. Karena pengajar zaman sekarang bukanlah orang yang mengabdikan diri untuk pendidikan, melainkan orang-orang yang menganggap mengajar adalah sebuah profesi. Selain itu, sebutan lain dari guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa karena zaman dulu guru mengajar dengan sukarela dan menganggap mengajar adalah sebuah pengabdian. Jika merujuk kepada makna kata guru yang bearti seorang ahli dalam bidang tertentu yang dianggap mulia, tentu saja seorang guru memiliki kharisma dan teladan yang baik bagi murid-muridnya. Seorang guru tidak hanya memiliki kemampuan menguasai ilmu pengetahuan dasar, tetapi juga menguasai ilmu pedagogi (Darmaningtyas, op. cit.). Sedangkan para pengajar zaman sekarang adalah orang-orang yang tercetak dari kebutuhan akan suatu pekerjaan, sehingga bagi pengajar zaman sekarang yang penting adalah memiliki kemampuan untuk mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Pengajar zaman sekarang jasanya sudah diberi tanda berupa gaji atau honor mengajar. jadi, pengajar zaman sekarang tidak tepat bila disebut “pahlawan tanpa tanda jasa” karena pengajar zaman sekarang bukanlah guru.
               Sistem pendidikan yang digambarkan di atas jelas sangat membutuhkan guru, bukan pengajar karena guru akan mampu untuk tidak sekadar memberi pelajaran dasar, melainkan juga mampu memberikan pelajaran moral, menanamkan benih kreativitas, intelektualitas, dan (yang pasti) orientasi mengajar seorang guru tidak tertuju kepada gaji, melainkan kepada panggilan jiwa untuk mengabdi. Selain itu, guru juga bisa menjadi teladan perilaku yang baik bagi para pelajar. Dalam bahasa Jawa, kata guru diartikan sebagai pemampatan dari kata digugu dan ditiruDigugu berarti orang yang didengar ucapannya dan ditiru berarti dicontoh tingkahlakunya.

Hilangnya Fungsi Sekolah
                Makna awal dari kata “sekolah” adalah “waktu senggang” (leisure), kemudian menjadi “obrolan santai”, lalu “tempat untuk kegiatan tersebut”. Kata “sekolah” berasal dari bahasa Latin, yaituschola, yang kemudian diserap ke berbagai bahasa menjadi école (Perancis), escuela (Spanyol), scuola(Italia), schule (Jerman), scola (Swedia), dan skola (Rusia)—(Roem Topatimasang, Sekolah itu Candu, INSTTPress).
                Dalam perjalanannya, makna kata “sekolah” dipersempit menjadi “tempat terjadi kegiatan belajar mengajar”. Sehingga dalam maknanya sekarang, sekolah adalah satu tempat yang berfungsi sebagai sarana untuk berbagi ilmu. Meskipun agak melenceng dari makna awalnya, namun dengan pengertian “sekolah” sebagai “sarana atau tempat untuk berbagi ilmu” masih bagus dan layak untuk diapresiasi.
                Sayangnya, fungsi sekolah sebagai sarana atau tempat berbagi ilmu (kegiatan belajar mengajar) hanya sebatas arti harfiah saja karena, pada kenyataannya, fungsi itu tidak lebih daripada formalitas belaka. Sekolah yang lebih mirip dengan penjara bisa dikatakan sudah kehilangan fungsinya sebagai tempat untuk mencerdaskan seseorang. Fungsi sekolah yang seharusnya adalah tempat belajar kini berganti—atau sengaja diganti—menjadi tempat transaksi bisnis karena di sekolah-sekolah sekarang kegiatan belajar hanyalah rutinitas yang membosankan.
                Fungsi sekolah yang telah berganti menjadi ajang transaksi bisnis hanya menjadikan pendidikan sebagai komoditas bisnis dan pelajar sebagai konsumennya. Seperti yang dituliskan di atas, apa pun kegiatan yang terjadi di sekolah, sebisa mungkin dikomersilkan oleh pihak sekolah. Bahkan, sekadar untuk ulangan saja, yang soalnya difotokopi oleh pengajar, pelajar harus membayar dengan harga yang beberapa kali lipat dari harga fotokopi yang sebenarnya. Misalnya, ada ulangan pelajaran Bahasa Indonesia. Soal yang difotokopi oleh pengajar sebanyak dua lembar dengan harga Rp. 400. Akan tetapi, pelajar diharuskan membayar Rp. 3. 000 oleh pengajar. Atau, kasus yang lain, untuk memarkir sepeda motor di halaman sekolah saja pelajar diharuskan membayar uang parkir. Hal ini sama saja dengan memarkir sepeda motor di halaman supermarket ketika akan berbelanja.
                Sekolah juga sudah tidak mampu mencetak kecendekiawanan pada lulusannya. Lulusan sekolah kebanyakan tidak mampu dan tidak berani untuk bersaing dalam kehidupan. Untuk pelajarnya, sekolah sudah tidak mampu menanamkan materi pelajaran di benak pelajar karena dalam satu hari pelajar dicekoki pelajaran yang banyak namun dengan sistem mengajar yang standar. Alhasil, pelajar menjadi limbung dan akhirnya tak ada satu pun pelajaran yang diingat. Selain itu, sekolah dalam hal ini telah gagal menanamkan rasa filantrofis kepada pelajarnya. Terbukti dengan selalu adanya permusuhan antar-pelajar dan seringnya terjadi tawuran. Ini menunjukkan bahwa, sekolah tidak mampu menanamkan nila-nilai kemanusiaan kepada pelajar.
                Sudah seharusnya semua yang terlibat dalam dunia pendidikan mengevaluasi diri, mengingat semakin terpuruknya kualitas pendidikan di negeri ini. Selenggarakan pendidikan gratis yang manusiawi, tempatkan guru (bukan pengajar) di sekolah, dan kembalikan fungsi sekolah sebagai sarana untuk memanusiakan manusia. Hilangkan segala bentuk bisnis di sekolah, hilangkan juga segala kepentingan politis dalam pendidikan karena pendidikan bukanlah komoditas bisinis atau ajang untuk politisasi.

by: yahoo news

No comments:

Post a Comment