Seks adalah eksplorasi. Ia tidak melulu bertumpu pada hasil, yakni hal yang berkaitan dengan rasa puas atau tidak puas. Karena itu, seks memberi tempat luas bagi proses, bagi tahapan-tahapan, yang kelak meniscayakan kesenangan.
Bukankah itu yang bikin kita merindukan seks, semata rasa girang? Tak aneh bila Woody Allen, seorang sutradara yang nyaris selalu memasukkan topik seks pada film-filmnya, mendengus bahwa seks adalah hal yang paling membuatnya gembira tanpa harus tertawa.
Cobalah tengok film Argentina ini, No mires para abajo (Don't Look Down). Dalam film itu, Eliseo Subiela, sang penulis serta sutradara, membentangkan suatu gambaran erotik akan seks yang menghamba pada proses. Ia tak canggung memberi panggung bagi kedahsyatan tahapan-tahapan bercinta, seraya membuat penontonnya tidak merasa sedang menonton film biru.
"Kuncinya adalah nafas," kata tokoh perempuan dalam film itu kepada seorang pemuda lugu yang akan menerima pelajaran seks tantra darinya. Dengan kata lain, seks yang mendebarkan tidak mengenal kata 'terburu-buru.' Ia tak menolak komunikasi.
Namun, tak selamanya, memang, kita dan pasangan dilanda selera bercinta. Pada titik tertentu, seks bisa menjadi semacam rutinitas yang jadi beban dan bikin keki. Ranjang tak lagi jadi situs pelarian sempurna dari segala tekanan. Darah tak lagi berdesir ketika pasangan meniupkan birahinya ke cuping telinga. Gairah perlahan mati.
Apakah situasi itu dengan serta-merta membuktikan bahwa kita dan pasangan telah gagal? Agaknya tidak. Setidaknya jika kita teringat dengan pepatah lama Jepang ini: Ketika gerbang menuju sebuah benteng telah rapat terkunci, kitarilah benteng itu untuk mencari kemungkinan lainnya. Selalu ada solusi bagi pikiran yang tak miskin imajinasi.
Dalam kebuntuan, imajinasi memang penting. Maka sungguh masuk akal ketika kamasutra mengabarkan ada lebih dari 50 variasi posisi bercinta. Cobalah berjalan-jalan di sekitar kawasan Kota, hitunglah berapa banyak alat bantu seks yang dijual di sana. Imajinasi, meminjam tagline sebuah iklan, bikin hidup lebih hidup.
Jika ada kesempatan membuka lagi halaman novel laris karya Ayu Utami, Saman, kita bisa menyimak betapa imajinasi punya daya tak terukur. Satu bagian novel itu bercerita tentang hubungan Yasmin dan Saman. Yasmin telah bersuami, namun ia jatuh hati pada Saman, seorang bekas pendeta yang kemudian jadi aktivis politik. Saman, dengan memakai ukuran kejantanan, tidaklah seperti suami Yasmin, yang bisa berganti gaya beberapa kali tiap beberapa hitungan.
Menghadapi Saman yang rendah diri, Yasmin menulis lewat email: Aku selalu orgasme jika membayangkan kamu. Aku orgasme karena keseluruhanmu.
Tapi tentu saja mengembalikan kesenangan dalam seks tidak hanya bersandar pada imajinasi semata. Kuncinya adalah menyadari bahwa Anda atau pasangan tidak berada lebih rendah antara satu dan lainnya. Bukankah posisi dalam bercinta juga mewakili filosofi itu: Tidak selamanya pria yang ada di atas. Perempuan juga bisa
sumber
No comments:
Post a Comment