Sebutlah namanya Zulbahri. Ia lahir di Padang, 16 Oktober 1952. Pada Februari 2003, Zulbahri mendaftar haji dengan menyetor DP sebesar Rp. 5 juta. Namun, pada bulan Juni tahun itu juga, ongkos haji sebesar Rp. 40 juta (plus istri) sudah bisa dilunasinya sehingga ia pun langsung mendapatkan jatah berangkat pada awal 2004.
Saat tiba waktunya, ia dan istri berangkat ke Madinah. Selama di Madinah mereka tinggal di Maktab (pemondokan), di mana jarak dari tempat penginapan ini ke Masjid Nabawi ditempuh sejauh 2 km. Meski jauh, ia menggunakan jalan kaki untuk bisa sampai ke Masjid Nabawi.
Zulbahri bersama 11 orang lainnya dalam satu rombongan. Agar tidak terpisah satu sama lain, mereka pun saling memegang baju belakang teman atau keluarga yang ada di depannya, sehingga mereka berjalan seperti berurutan saat berada di Masjid Nabawi. “Karena saking banyaknya orang, jutaan, jadi takut terpisah,” ujar Zulbahri mengisahkan kelakuannya dan teman-temannya saat itu.
Tapi, entahlah, hal apa yang kemudian merasuk ke dalam pikiran Zulbahri. Karena tiba-tiba saja dari mulutnya keluar kata-kata sindiran (iseng) kepada salah seorang temannya yang sedang memegang kain bagian belakang temannya yang ada di depan, “Pak, takut terpisah ya!”
Mungkin karena bernada candaan, sang teman pun tidak menggubris keisengan Zulbahri. Ia hanya bisa tersenyum. Saat itu memasuki hari kedua berada di Madinah dan sehabis Maghrib. Usai shalat Isya di Masjid Nabawi, Zulbahri pun pulang bersama rombongan.
Namun, keisengan Zulbahri sebelum Isya rupanya berbuah petaka. Karena dia bersama istri dan seorang teman serta istrinya kesasar saat pulang. “Ketika keluar dari pintu 17 Masjid Nabawi, mestinya saya belok kiri, eh malah belok kanan,” ujarnya.
Namun, keisengan Zulbahri sebelum Isya rupanya berbuah petaka. Karena dia bersama istri dan seorang teman serta istrinya kesasar saat pulang. “Ketika keluar dari pintu 17 Masjid Nabawi, mestinya saya belok kiri, eh malah belok kanan,” ujarnya.
Sang istri sebenarnya sudah mengingatkan bahwa jalannya salah, tapi Zulbahri tetap merasa yakin bahwa ia telah melakukan hal yang benar. Begitu juga dengan temannya, sebenarnya ia juga merasa jalan pulangnya salah, tapi dia tidak memberitahu karena dipikirnya Zulbahri mungkin sedang mengajaknya jalan-jalan.
Setelah berjalan berpuluh-puluh meter, Zulbahri pun menyadari bahwa jalannya salah. Mereka pun akhirnya kembali lewat arah yang sama dan kemudian mengulangi lagi dari awal. Mereka akhirnya pun bisa pulang dan sampai di pemondokan dengan selamat.
Dibimbing Lelaki Besar Menuju Hajar Aswad
Pengalaman itu, di mata Zulbahri, benar-benar dijadikan pelajaran berharga buatnya. “Iseng saja tidak diperbolehkan oleh Allah, apalagi kalau kita berbuat sombong di sana,” pesan Zulbahri sembari tertawa mengisahkan kekonyolannya saat itu. Zul menyadari bahwa mungkin itu disebabkan oleh ketidakmengertiannya tentang agama. Jadi, ia melupakan hal-hal yang sederhana, seperti tidak boleh berbuat iseng dan sebagainya.
Namun, keisengan Zulbahri saat di Madinah, akhirnya dibalas oleh pengalaman spiritualnya yang manis saat di Mekkah. Memasuki hari kedua di Mekkah, Zulbahri dan istri pun melakukan thawaf sunnah. Namun, di tengah thawaf, salah seorang teman wanitanya terpisah dari rombongan. Sebagai mahramnya, Zulbahri pun merasa panik. Namun, dia tetap harus fokus pada ibadah thawafnya. Hingga selesai ritual thawaf itu, sang teman belum ditemukan juga.
Zul pun pulang ke Maktab dan betapa terkejutnya ketika sang teman sudah ditemukan berada di sana. Perempuan itu pun berkisah kepada istri Zul bahwa saat thawaf ia merasakan ada lelaki besar menarik dirinya dan membawanya ke Hajar Aswad. Karena itulah mereka terpisah. Pengalaman sang teman ini rupanya menarik Zul dan istrinya untuk melakukan thawaf kembali dan segera bisa merapat ke Hajar Aswad.
Besok harinya, sehabis shalat Shubuh di Masjidil Haram, mereka berangkat lagi untuk melakukan thawaf sunnah. Mereka memulainya dari pinggir, sementara posisi Hajar Aswad berada di tengah, di dekat Ka’bah. Putaran demi putaran mereka kitari dengan aman.
Ketika memasuki putaran ketiga, tiba-tiba pundak Zul ada yang memegang. Ketika melihat ke belakang, ternyata ada lelaki bertubuh besar dan berkain ihram sedang membelokkan pundak kanannya, seolah ingin mengarahkan langkah kakinya menuju Hajar Aswad.
Ketika memasuki putaran ketiga, tiba-tiba pundak Zul ada yang memegang. Ketika melihat ke belakang, ternyata ada lelaki bertubuh besar dan berkain ihram sedang membelokkan pundak kanannya, seolah ingin mengarahkan langkah kakinya menuju Hajar Aswad.
Zul diminta menurut saja apa kata lelaki bertubuh besar tersebut. Akhirnya, mereka pun terus mengitari Ka’bah sesuai arah yang ditunjuk oleh lelaki asing tersebut. Ternyata, ketika memasuki putaran ketujuh, tanpa sadar bahwa Zul dan istrinya telah berada di dekat Hajar Aswad.
Namun, ketika Zul menegok lagi ke belakang, ternyata lelaki yang mengarahkan langkahnya tersebut sudah tidak ada lagi. Zul pun terkejut. “Saya masih merinding kalau mengingatnya lagi,” kenang lelaki yang sebelum pensiun dari LIPI pernah menjabat sebagai bendahara ini. Mereka pun segera bisa menyentuh Hajar Aswad. (majalah-hidayah)
Namun, ketika Zul menegok lagi ke belakang, ternyata lelaki yang mengarahkan langkahnya tersebut sudah tidak ada lagi. Zul pun terkejut. “Saya masih merinding kalau mengingatnya lagi,” kenang lelaki yang sebelum pensiun dari LIPI pernah menjabat sebagai bendahara ini. Mereka pun segera bisa menyentuh Hajar Aswad. (majalah-hidayah)
No comments:
Post a Comment